Sejak jaman saya kuliah sampai sekarang, orang-orang pengusung paham feminisme getol ‘mendekati’ mahasiswa-mahasiswi di lingkungan kampus. Bersembunyi di balik kata pro perempuan, mereka sejatinya justru ingin merusak perempuan. Parahnya, anak-anak muda yang lagi senang-senangnya mengkritisi isu-isu terkini itu justru terpukau dengan retorika kaum feminis yang ‘terlihat cerdas dan maju’ dibandingkan nasehat-nasehat ulama yang ‘terdengar kuno dan terbelakang’.
Suatu hari saya diberi hadiah buku ini oleh seorang sahabat saya yang juga merupakan editornya. Sasaran pembacanya memang di khususkan untuk anak-anak muda, karena bahasanya menggunakan bahasa kekinian yang merupakan ciri khas anak muda. Ringan namun berbobot.
Wardah Abeedah, seorang muslimah yang lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren menulis kisahnya dalam menjalani peran perempuan sesuai dengan aturan syariat. Meski sudah mengenal agamanya sejak dalam kandungan, tak ayal pula ketika memasuki masa remaja, dia mulai berpikir seperti remaja pada umumnya. Kebingungan mencari jati diri karena tak mau terikat dengan aturan, mengalami perkembangan intelektualitas yang menyebabkan suka mengkritik berbagai hal, cepat mempelajari banyak hal dan mulai memperjuangkan idealismenya, dan lain-lain.
Pengalaman yang luar biasa ini dia tuangkan dalam tulisan untuk memberi contoh pada remaja muslimah agar tetap berada di koridor syariat dalam mengaktualisasi diri.
Bagaimana Buku Ini Bercerita?
Berawal dari sejarah perempuan dalam peradaban Yunani, Romawi, dan Arab jahiliyah, di mana perempuan berada pada kelompok kelas dua dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka bebas diperlakukan bak benda oleh lelaki. Bahkan melahirkan anak perempuan menjadi aib bagi keluarga. Apalagi jika kedudukannya terhormat di mata masyarakat, maka wajib bagi mereka untuk membunuh bayi-bayi perempuannya. Duh, saya beruntung tidak terlahir di jaman mereka.
Meski penulis lahir dan tumbuh di lingkungan yang sangat kuat menerapkan aturan syariat dalam kesehariannya, dia sempat tertarik dengan ide feminisme sebagai bentuk pemberontakan ‘jiwa muda’nya atas aturan yang mengekang. Dia menolak menjadi seperti umminya yang menikah muda, berpenampilan tak modis, dan menghabiskan waktunya di rumah mengurus keluarga.
Lama berproses dengan hidup dan semakin bertambah usianya, Allah membukakan hatinya untuk memahami betapa istimewanya dia sebagai perempuan muslimah. Semakin dia belajar, semakin dia mengerti bahwa islam me-ratu-kan kaum perempuan dengan memberi tanggung jawab mulia pada hal-hal yang sesuai dengan fitrahnya. Syariat yang ada bukan untuk membatasi gerak perempuan, namun untuk menjaga kehormatannya.
Setelah islam datang, perempuan tak lagi direndahkan kedudukannya. Mereka dijamin merdeka dalam kepribadiannya dan dijadikan pewaris, bukan benda yang diwariskan.
Perempuan Sebagai Incaran Kaum Liberal
Begitu mulianya islam memperlakukan kaum perempuan, membuat orang-orang kafir dan kaum munafiqun merasa iri. Karena itulah, mereka dengan segala cara merusak agama ini dengan menjadikan perempuan muslimah yang lemah iman sebagai alatnya.
Iklan yang lebih banyak menampilkan perempuan sebagai bintangnya merupakan salah satu propaganda merusak Islam. Mereka, secara sistematis, menanamkan gagasan-gagasan yang menampilkan bahwa islam membatasi dan mengekang gerak perempuan.
Cantik itu kalau wajah putih, spottless, dan glowing. Hati dan akal kita dibuat berpikir dan merasa butuh pada hal-hal yang bukan kebutuhan demi memenuhi standar cantik.
Dalam buku ini, penulis mengajak kita untuk menelusuri kejadian-kejadian viral di media sosial yang secara terselubung mempromosikan gerakan ‘membenci’ islam. Siapa sasarannya? Lagi-lagi muslimah. Dengan berbalut kalimat indah dan logis, mereka mengajak perempuan untuk menolak syariat islam dengan mengusung ‘kesetaraan gender’ sebagai tamengnya.
Benarkah Kita Memerlukan Kesetaraan Gender?
Peran laki-laki dan perempuan di dalam islam diatur sedemikian rupa sesuai dengan fitrahnya masing-masing. Mengapa perempuan menuntut persamaan dengan laki-laki, jika dalam islam kita sudah mendapatkan peran masing-masing secara adil. Pahala bukan hanya hadiah untuk laki-laki. Pun demikian dengan dosa, bukan hanya milik perempuan. Surga bukan milik laki-laki, demikian pula neraka bukan rumah yang dibuat untuk perempuan. Hanya ketakwaan saja yang membedakan kita di hadapan Allah.
Namun, lihainya mereka dalam mempromosikan gerakannya, membuat perempuan mulai mempertanyakan keadilan dalam hukum-hukum islam.
Kalimat Santai, Sarat Makna
Gaya tulisan yang santai mencuri perhatian saya. Membaca buku ini tak seperti membaca jurnal dengan segala ‘keseriusan’ di dalamnya. Tak ada tulisan yang menggurui sebab semua yang tertuang dalam buku merupakan pengalaman pribadi penulis yang pernah mengalami problema yang sama dengan remaja pada umunya.
Penulis mengajak kita untuk menyimak teladan-teladan dari Rasulullah, sahabat, dan shahabiyah, yang mana mereka adalah orang-orang cerdas pilihan Allah yang mengesampingkan akalnya demi tunduk pada hukum-hukum islam.
Dengan latar belakang keilmuannya, menurut saya, buku ini bukanlah tandingan penulis-penulis feminis, sebab bukan hanya berisi tentang opini semata, penulis selalu menyertakan dalil yang kuat dan shahih dalam setiap pembahasan masalah.
0 Komentar