Dulu, sewaktu kuliah di Jogja, saya bersama teman-teman sering menghabiskan liburan akhir pekan di Kaliurang. Kala itu, tempat wisata di Jogja belumlah sebanyak sekarang, dan Kaliurang adalah tempat favorit para mahasiswa untuk berlibur selain pantai Parangtritis. Kaliurang merupakan kawasan wisata yang berada di bawah kaki gunung Merapi. Berada di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Kaliurang mirip dengan kawasan puncak di Bogor. Suhunya sekitar 20 sampai 25 derajat celcius membuat tempat ini sejuk.
Salah satu fasilitas wisata yang ada di Kaliurang adalah Lava Tour. Saya yang kebetulan mudik ke rumah mertua di Sleman, membujuk suami untuk mencoba wisata ini. Awalnya suami enggan menuruti kemauan saya, dengan alasan bahwa kegiatan ‘offroad’ ala Lava Tour ini kurang menarik dibanding offroad asli yang biasa dia lakoni bersama teman-temannya. Tapi saya bersikeras membujuknya karena tak tega melihat anak-anak yang merengek ingin mencoba offroadnya Lava Tour.
Oh iya, perlu diketahui, wisata Lava Tour ini merupakan tur wisata di daerah terdampak erupsi Gunung Merapi tahun 2010 silam dengan menggunakan kendaraan jenis Jeep. Ah, kenapa juga ada yang ‘tega’ menjadikan lokasi musibah sebagai tempat wisata? Seandainya saya adalah salah satu dari ratusan warga yang terdampak musibah, tentu saya akan marah pada siapapun yang berkepentingan untuk merubah rumah tempat kami terkubur menjadi sebuah objek wisata dan menjadi tontonan wisatawan. Namun, pengelolaan tempat wisata ini sudah mendapat persetujuan dari Pemerintah DIY. Saya yakin, kebijakan yang diambil berdasarkan kemaslahatan bersama. Mudah-mudahan kedatangan wisatawan bukan hanya untuk berwisata, melainkan untuk mengetahui sejarah erupsi yang terjadi di gunung Merapi ini dan mampu mentadabburi setiap proses kejadiannya, sehingga kita mampu merendahkan diri di hadapan Sang Pencipta alam semesta.
Berbagai Rute Pilihan Lava Tour
Mon maap, yg cantik disamarin ;)
Kami berempat menuju kawasan
Kaliurang yang berjarak sekitar 35 kilometer dari rumah mertua. sesampai disana,
saya melihat beberapa orang mengantri menunggu jeep yang masih mengantar
kelompok lain berkeliling sesuai rute yang dipesan. Basecamp, begitu mereka menyebutnya, yang kami datangi itu termasuk
yang paling sedikit antriannya dibanding basecamp
Lava Tour yang lainnya. Sambil
berharap tak terlalu banyak yang menunggu giliran, saya menemui pemiliknya. Dia
menawarkan beberapa jenis tur, mulai dari rute pendek sampai dengan rute
panjang yang berdurasi dua sampai empat jam untuk sekali putaran (pergi-pulang).
Harganyapun beragam, mulai dari Rp. 350.000 sampai dengan Rp. 600.000 per jeep.
Saya memesan rute pendek. Lumayan lah mengurangi rasa keingintahuan anak-anak dengan dunia offroad yang sering menjadi cerita pengantar tidur dari ayahnya hampir setiap malam. Antrian di depan saya tinggal dua kelompok lagi. Dalam hati saya berharap dapat mobil yang nyaman dikendarai. Seriously? Kita sedang membicarakan tentang wisata ala offroad lho, jangan berharap seperti naik mobil MPV di atas jalan tol, umpat saya dalam hati.
“Ibu Diah!,” spontan saya berdiri begitu mendengar nama saya diteriakkan. Rupanya jeep saya sudah datang. Anak-anak berteriak kegirangan. Mobil jeep CJ-7 warna putih sudah datang menjemput kami. Si Bungsu tiba-tiba ngambek karena yang menyetir mobil itu orang lain, bukan ayahnya. Dia sangat berharap akan menikmati perjalanan sekeluarga, lalu mulai menangis menolak untuk masuk mobil. Saya minta waktu kepada pemandu kami untuk menenangkan si Bungsu. Untung saja saya adalah customer terakhir hari itu, jadi sedikit waktu yang terbuang tidak membuat pemilik Lava Tour rugi.
Tak lama kemudian, drama dadakan usai sudah. Kami berempat ditambah satu orang pemandu wisata menyusuri jalanan desa selebar tiga meter. Jalan aspal yang membuat laju kendaraan mulus membuat anak-anak bosan, hingga ketika mobil memasuki jalanan berbatu besar dan terjal, anak-anak kembali bersorak. Si pemandu rupanya senang dengan reaksi anak-anak yang berlebihan, maka dia menginjak gas semakin dalam dan mobil semakin bergoncang membuat kepala saya beberapa kali terbentur tiang besi mobil yang saya jadikan pegangan agar tak terlempar keluar.
Museum Mini Sisa Hartaku
Museum mini (maaf, saya di blur aja)
Tujuan pertama, museum mini Sisa
Hartaku. Jangan berpikir bahwa setiap yang bernama museum pastilah sebuah
gedung tinggi yang kokoh lengkap dengan sekuriti yang mengawasi setiap orang
yang masuk dan keluar. Museum ini merupakan bangunan tidak permanen milik
seorang warga korban bencana erupsi yang sudah terkubur dan turut menjadi
bagian sejarah kelam, namun namanya tak pernah disebut oleh siapapun disini.
Rumah yang beralih fungsi menjadi museum mini ini dimanfaatkan sedemikian rupa untuk memuaskan keingintahuan wisatawan tentang apa yang terjadi. Saya melongo saat pemandu menjelaskan tentang riwayat rumah dan penghuninya. Rumah yang sudah diperbaiki pada bagian tiang penyangga dan atapnya itu menjadi satu-satunya rumah yang bisa dimanfaatkan sebagai museum. Memanfaatkan rumah korban bencana untuk dijadikan tempat wisata? Bisakah dibenarkan tindakan orang-orang ini? Saya dan suami saling berpandangan tanpa mengucap sepatah katapun. Hati saya teriris membayangkan si pemilik rumah semasa hidupnya merawat rumah yang menjadi naungan keluarganya, lalu ketika mereka mati, orang-orang tak dikenal berseliweran di dalam rumahnya menerka-nerka tentang aktrivitas sehari-hari pemilik rumah sambil sesekali memekik pelan untuk menunjukkan simpati atas bencana yang menimpanya.
Beberapa barang tampak di pajang. Motor yang tinggal kerangkanya tergolek di bagian belakang rumah yang saya pikir itu ruang dapur, tulang tengkorak sapi terlihat menempel di dinding, beberapa peralatan makan yang terlihat gosong dan melepuh ada dalam ruangan utama rumah. Semua itu merupakan sisa-sisa bencana erupsi Gunung Merapi tahun 2010, dimana mbah Marijan, juru kunci Gunung Merapi, meninggal akibat awan panas (atau dikenal dengan sebutan wedus gembel) yang menyertai meletusnya gunung tersebut. Ruangan berikutnya, yang menurut saya terlihat seperti ruang keluarga, menyajikan berbagai foto saat terjadinya bencana erupsi. Sayangnya, foto-foto itu dipasang sekenanya saja. Sama seperti barang-barang yang lain, dipajang seadanya tanpa ada informasi apapun yang menyertainya. Satu-satunya informasi hanyalah penjelasan dari pemandu.
Batu Alien
Batu alien. (saya tak layak tampil nih, wkwk)
Tak berlama-lama disana, kami
meneruskan perjalanan menuju Batu Alien. Jalan yang kami lalui masih berbatu
dan terjal yang semakin lama semakin parah saja, saya rasa. Pinggang saya mulai
pegal, tapi saya, yang merupakan satu-satunya perempuan di mobil itu, bertahan
untuk tak mengeluh sedikitpun, karena saya tahu, anak-anak akan kegirangan membully saya.
Kaliurang adalah kawasan yang lebih sering turun hujan saat di tempat lain cerah. Tampaknya malam sebelumnya hujan deras. Saya melihat genangan di mana-mana dan kondisi jalan semakin parah. Namun, di sinilah letak keseruannya. Mobil jeep 4 x 4 memang di ciptakan untuk menaklukkan daerah sulit. Meskipun perut serasa di aduk-aduk, tapi saya lebih memilih ini daripada naik roller coaster.
Lega, akhirnya kami sampai ke Batu Alien. Pemandu mengarahkan kami menuju sebuah bongkahan batu besar yang katanya tiap lekukan di permukaannya membentuk hidung, mata, dan mulut makhluk luar angkasa. Saya mengerutkan kening, lalu mondar mandir di sekitar batu untuk melihat wajah alien yang dimaksudkan. Tak mirip, gumam saya.
Menurut warga setempat, awalnya batu tersebut tidak ada di sana. Pada tahun 2011, salah seorang warga menemukan bongkahan besar itu dan menyebutnya sebagai Batu Alian, yang dalam bahasa jawa berarti Batu Pindahan. Konon, batu tersebut dimuntahkan oleh Gunung Merapi bersamaan dengan erupsi pada tahun 2010 silam. Hmm, otak saya kembali berpikir bagaimana bisa batu sebesar itu jatuh ke tempat yang jaraknya sangat jauh dari gunung Merapi. Tapi, akal manusia memang terbatas untuk memahami semua ilmu Allah. Jika Dia menghendaki sesuatu itu terjadi, maka siapa yang bisa menghalangi? Ya, kan? Dan entah siapa yang pertama kali memplesetkan penyebutannya menjadi Batu Alien, yang jelas, sebutan itu popular sampai dengan saat ini.
Saat hendak kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba hujan turun. Saya dan anak-anak berlarian mencari tempat untuk berteduh. Menemukan toilet yang tak berpenghuni, saya nekat berteduh di terasnya. Tak lama, karena aroma menyengat dari dalam toilet membuat perut saya mual. Akhirnya saya mengajak anak-anak untuk mencari tempat yang lain sembari menunggu pemandu dan suami saya memasang canvas top pada mobil CJ-7 yang kami naiki. Suami saya ikut memasang canvas top? Yup! Dia tak tega melihat pemandu kami kewalahan memasang penutup pada mobil jeep itu sendirian. Akibatnya, pakaian suami basah kuyup dan saya hanya bisa merengut saja. Kalau masuk angin, ujung-ujungnya saya juga yang susah, sungut saya dalam hati.
Setelah canvas top terpasang sempurna, kami semua masuk ke dalam mobil. Kira-kira satu kilometer melaju di jalan berbatu, hujan berhenti. Ya, benar-benar berhenti tanpa menyisakan gerimis sedikitpun. Antara senang dan menyesal, kenapa tidak sedikit bersabar menunggu beberapa menit sampai hujan reda.
Bunker Kaliadem
Tur berakhir di Bunker Kaliadem. Bunker ini sudah ada sejak zaman kolonial. Berfungsi sebagai tempat perlindungan dari meletusnya Gunung Merapi. Kenyataannya, pada tahun 2006 dua orang relawan meninggal dunia dalam bunker tersebut tersapu awan panas atau wedus gembel yang melintasi di atasnya. Padahal, pintu bunker terbuat dari baja setebal 15 cm. Begitulah kematian, sejauh apapun bersembunyi darinya, meski di dalam benteng yang tak seorang manusiapun bisa menemukan, maut akan tetap mendatangi kita.
Saya terpaku saat berada di dalam bunker yang sempit. Ada kamar mandi kecil di sebelah kanan saya. Menurut pemandu, satu orang relawan ditemukan meringkuk dalam bak mandi dan satu orang lainnya berada di tengah-tengah ruangan. Keduanya meninggal dalam keadaan hangus. Subhanallah!
Memetik Hikmah Dari Wisata Singkat
Suami saya berteriak memanggil saya dari luar bunker. Saya keluar dari bunker dan berlarian menaiki tangga menuju mobil yang sudah siap mengantarkan kami kembali ke basecamp.
Jalan yang kami lalui untuk kembali menuju basecamp berbeda dari keberangkatan. Kami akan menyusuri sepanjang sungai Kali Kuning. Mendengar sorakan bahagia anak-anak membuat saya kembali ke ‘dunia nyata’ setelah kontemplasi singkat di bunker Kaliadem.
Mobil membelah sungai Kali Kuning. Pemandu kami seperti sengaja ingin unjuk gigi. Dia menginjak gas mobil dalam-dalam membuat saya histeris, sementara anak-anak kegirangan. Bukan saya tak punya keberanian pada medan yang kami lalui, tapi kaos putih dan sepatu yang saya kenakan langsung terguyur air sungai. Seperti emak-emak pada umumnya, saya mengomel tanpa henti pada si Pemandu. Dia diam saja membuat saya semakin geram. Hingga saat memasuki jalan beraspal, dia menepikan mobil dan memberikan handuk pada saya, yang tentu saja saya tolak karena sudah terlanjur marah.
Sesampai di basecamp, pemandu kami mempersilakan kami turun tanpa merasa bersalah telah membuat saya kebasahan. Anak-anak merengek ingin mengulangi perjalanan lagi. Saya membujuk mereka bahwa kita akan melakukan keseruan lainnya nanti, dan mereka berhenti merajuk.
Kami berempat dalam perjalanan pulang ke rumah mertua. Sepanjang jalan, anak-anak tak berhenti menceritakan keseruan wisata Lava Tour. Suami saya sesekali ikut menimpali obrolan mereka. Lalu saya? saya sibuk berpikir tentang sejarah dibalik tur yang baru saja dilewati. Sebuah bencana alam yang memporak porandakan keindahan alam Kaliurang. Sebuah kuburan massal orang-orang yang sebelumnya tak menyadari bahwa mereka akan mati. Sebuah kehancuran yang menggambarkan kekuasaan mutlak Sang Ilahi.
Akhirnya, tur berdurasi pendek itu berhasil mencacah-cacah kesombongan dalam diri saya. Allah selalu punya cara ‘tak biasa’ dalam menuntun hamba-hambanya. Dan hanya orang-orang yang mampu berpikirlah yang bisa mengembil hikmahnya. Semoga saya dan kalian termasuk golongan tersebut.
14 Komentar
Melintasi Gunung Merapi setelah erupsi dan memperhatikan setiap benda peninggalan warga di sana dahulu kala memang mengundang emosional ya mbak :') Barakallah fiiki.
BalasHapusBetul mba inez. Sekalian sebagai pengingat bahwa sejatinya Kita bukanlah apa2 di hadapan Allah, Sang Maha Besar. Wa fiiki barakallah.
HapusKalo rumah2 korban dijadikan tempat wisata dan museum gitu, pemilik aslinya kemana ya mbak?? Bagaimanapun awalnya itu kan property pribadi, apa mereka dpt semacam kompensasi gitu??
BalasHapusQadarullah, (menurut info) si pemilik rumah turut menjadi korban erupsi mba. Entah bagaimana dg ahli warisnya Saya ngga menanyakan itu, soalnya dah emosi duluan denger ceritanya. Hehe
HapusMasyaa Allah....
BalasHapusYogyakarta kalau ditelusuri keunikan budayanya gak akan habis-habisnya. Saya dulu sempat di Yogyakarta selama dua mingguan, baru pertama kali makan lotek, gudeg asli, makan undur-undur laut, belum sempat minum kopi bakar. Ada-ada aja di sana. heheheh
MasyaAllah.
HapusKopi joss kayanya yg mas Saad mksud, hehe. Kopi campur arang panas. Saya bukan penggemar kopi sih, jd blm pernah nyobain, wkwk. Tapi, konon banyak disuka, krn selalu ramai tempatnya. Yuk, kapan ke jogja lagi?
Begitu berkesan ya mbak, masih ingt betul MB Diah moment di tahun 2010. Bapakku jg ikut kena waktu itu, Alhamdulillah selamat semua
BalasHapusAlhamdulillah... Sehat selalu ya mba windi sekeluarga.
HapusKesananya sih 3th an yg lalu, wkwkwk. Dapet cerita singkatnya dr mas2 pemandu wisata.
Amazing family... Kegiatan di alam dan di luar rumah memang bisa menjadi pilihan bagi keluarga. Bisa sekedar refreshing, atau bisa juga berupa menghadirkan tantangan dan edukasi bagi anak. Mb Diah keren, wisata alam ke Gunung Merapinya.
BalasHapusNyari yg murah2 aja kang. Wkwkwk. Alhamdulillah sekalian bisa belajar.
HapusWah akhirnya tayang ini tulisannya. Aku antara miris dan tertantang buat menelusuri langsung.
BalasHapusIyaaa mba. Makasih dah di evaluasi tulisan ini sebelum tayang, hehe. Jazakillah khair 🙏
HapusMasyaAllah ini salah satu destinasi wisata yang aku sama suami pengen datengin, bismillah semoga bisa ^^
BalasHapusYuk yuk mba. Ntar dibikin review nya juga. Pengen baca dr sudut pandang mba roswita 😉
Hapus