“Yogyakarta adalah kota dengan sejuta rindu”, setidaknya itulah hal yang dirasakan oleh orang-orang yang sempat menautkan hatinya di kota damai penuh cinta itu. Entah sudah berapa lama saya tak menginjakkan kaki ke kota tersebut. Semenjak lulus kuliah atau setelah ibu mertua saya meninggal, saya tidak ingat.
Beberapa waktu lalu, kami berkesempatan mengunjungi keluarga suami di Sleman, Yogyakarta. Bagi anak-anak, ini semacam liburan yang lama tak pernah kami lakukan sejak pandemi. Meskipun tujuan kali ini bukanlah berwisata, melainkan takziah ke rumah sahabat suami saya yang kebetulan adalah tetangganya juga, namun keluar rumah selain ke minimarket dan pasar, merupakan liburan menyenangkan bagi kami, kaum rumahan.
Kami sempat berdiskusi tentang waktu keberangkatan. Anak-anak dan suami mengusulkan malam hari, karena mereka ingin tidur di perjalanan dan suami merasa lebih ‘bersemangat’ menyetir di malam hari. Tapi saya lebih suka perjalanan pagi atau siang hari, dengan alasan banyak hal yang kita lihat sepanjang jalan. Dengan alasan sesederhana itu, anak-anak dan suami rela memilih untuk tidak mendebat saya lagi. Ok, kami berangkat sebelum waktu dzuhur tiba.
Pagi di bulan Desember kala itu cuaca tidaklah mendung, namun tak bisa juga dikatakan cerah. Sekumpulan awan terkadang menaungi perjalanan kami, di lain waktu, matahari garang membakar. Perjalanan dari Bojonegoro menuju Yogyakarta memakan waktu enam jam lamanya. Di kursi belakang, anak-anak tampak tertidur pulas setelah menghabiskan semangkok penuh soto ayam di Sragen. Saya masih tetap terjaga menemani suami yang menyetir dengan kecepatan konstan.
Memasuki kota klaten, cuaca berubah mendung. Saya mendongak melihat langit yang sudah mulai gelap. “Kayaknya mo ujan”, ujar saya pada suami yang dibalas dengan jawaban singkat. Benar saja, tak lama kemudian hujan mulai turun. Beberapa pedagang di pinggir jalan tampak terburu-buru menutup dagangannya dengan plastik seadanya. Para pejalan kaki berlarian mencari tempat berteduh. Beberapa pengendara motor yang menyiapkan perlengkapan musim hujan, menepikan kendaraannya dan dengan tergesa-gesa mengenakan jas hujan yang dibawanya. Beberapa pengendara motor lainnya memilih untuk segera tancap gas sekencang-kencangnya demi meminimalisir ‘basah kuyup’. Semua aktivitas itu tampak normal seolah-olah kata ‘pandemi’ hanyalah sebuah mitos saja.
Sekira pukul empat sore kami memasuki kota Yogyakarta. Tak seperti biasanya, jalanan tak begitu padat. Wajar, sepertinya hujan baru saja reda. Jalanan masih basah dan pada beberapa titik terdapat genangan. Saya mematikan AC dan membuka jendela mobil. Sambil memejamkan mata, saya menghirup dalam-dalam aroma hujan sore itu. Kenangan demi kenangan selama saya tinggal di Yogyakarta muncul kembali dalam ingatan. Saya tersenyum lebar. Dulu, disinilah saya memulai banyak petualangan. Terima kasih, waktu!
0 Komentar