sumber: google |
Dia memutuskan untuk menjadi mualaf agar bisa dinikahi oleh lelaki Muslim, meski seluruh keluarganya menentang Dan mengancam Tak akan mengakuinya sebagai anggota keluarga. Dengan getir, dia meneguhkan keputusannya untuk tetap berjalan menuju cinta yang diimpikannya.
Waktu terus berjalan, keberuntungan menggelayuti keduanya. Rumah mewah, teman-teman yang hangat, materi berlimpah, dan kehidupan sosial yang mengalir tenang membuat segalanya tampak sempurna. Dan kesempurnaan itu sampai pada titik puncak ketika lahir anak-anak luar biasa yang kehadirannya seolah merampungkan mimpi para pencari kebahagiaan.
Dia bersujud didepan Kaki ayah dan ibunya. Memohon ampun atas Luka masa lalu. Kedua orang tua itu tertegun dengan sosok mungil laki-laki dan perempuan didepannya dengan tatapan mata polos yang menuntut sebuah cinta. Dua orang cucu dari anak gadisnya yang mualaf.
Waktu masih berjalan, dan akan terus berjalan tanpa memperdulikan apa yang telah dan tak bisa dia miliki.
Dalam kesendiriannya, didepan cermin, dia menatap wajah wanita cantik yang sangat dia kenal. "Apa yang hilang dariku?", Tanyanya pada hening. Tak Ada jawaban. Kesedihan itu meronta ingin segera dituntaskan, namun air mata yang dibutuhkannya tak kunjung terburai. Haruskah kesedihan diisyaratkan oleh tetesan air mata? Atau itu bukanlah sebuah kesedihan?.
Dengan sedikit enggan dan jengah, diambilnya sebuah buku tebal pemberian ibu mertua sebelum beliau meninggal. Dia membukanya perlahan. Satu demi Satu lembarannya ia singkap, meski tak tahu apa yang dicari, atau apa yang seharusnya dia lakukan.
Pelan, sebutir bening menggelitik kulit pipinya yang pucat. Dia menangis, meski tak yakin alasannya. "Apa yang harus kubaca?". Huruf-huruf didalamnya seolah menatap tajam, menuntut untuk segera dibaca. "Apa yang harus kubaca?", Dia mengulang-ulang pertanyaan itu dalam hati. Hatinya semakin gusar. Butiran bening berkejaran diatas pipinya yang pucat.
"Tak ada yang hilang dariku. Aku hanyalah kosong. Aku memilih jalan ini, namun aku Tak tahu siapa yang harus kutuju".
"Segala yang aku miliki seolah bukanlah untuk kumiliki". Dia terus membiarkan dirinya menangis, membuat wajahnya semakin terlihat cantik dan rapuh.
Dalam kesendiriannya, dia peluk erat buku tebal pemberian ibu mertua sebelum beliau meninggal.
Dia berjalan menuju samping tempat tidur mewah yang tidak dipunyai oleh tetangga-tetangganya. "Aku akan menuntutmu kelak, sebab kau tak pernah mengenalkanku pada agamaku", ujarnya pahit seraya memandang foto suami yang sedang tersenyum padanya.
(Hidayah itu Mahal. Untuk orang-orang baik disana, Tak Ada yang bisa kulakukan selain mendoakan agar Allah menyelipkan hidayahNya dalam hatimu. Semoga Kita bertemu lagi kelak)
0 Komentar